![]() |
Sekolah Dasar Nasional di Pulau Bangka (ist) |
Laporan: Yoseph E Ikanubun
MANADO - Pulau Bangka masuk dalam wilayah
Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Suluwesi Utara.
Pulau seluas 4 ribu hektar dan memiliki empat desa masing-masing Libas, Kahuku,
Ehe, dan Lihunu ini belakangan jadi perhatian publik, saat PT Mikgro Metal
Perdana (MMP) mulai beroperasi melakukan eksplorasi dan eksploitasi bijih besi.
Pro kontra, hingga konflik horisontal antara warga di dua dari empat desa di
pulau itu. Tak hanya sesama warga, kontak fisik dengan aparat kepolisian juga
terjadi. Darah penduduk membasahi pulau dengan pantai yang eksotis itu. Selain kekerasan fisik, persoalan psikologis
juga dialami anak-anak di dua desa itu. Sejumlah siswa diduga mengalami
perlakukan diskriminatif dari pihak sekolah, karena konflik orang tua mereka.
Sekolah di luar pulau Bangka menjadi pilihan terbaik, ketika ancaman putus
sekolah di depan mata. Apalagi lima sekolah di desa itu bakal digusur untuk
dijadikan areal pertambangan.
Hari menjelang malam, Jumat 12 September 2014. Matahari sudah beberapa
menit lalu masuk ke peraduannya. Perahu motor “Imanuel” yang kami tumpangi
perlahan merapat ke sebuah dermaga. Setelah lebih dari satu jam melintasi
perairan di selat Bangka. Dari dalam perahu motor, kami bisa melihat dengan jelas di atas dermaga sepanjang
lebih kurang 30 meter itu.
Belasan warga asing berdiri di sana. Mata sipit,
berkulit kuning langsat. Beberapa anak terlihat bertegur sapa dengan mereka.
Yang mencolok kemudian adalah; seorang pria bertubuh kekar, mengenakan kaos
tanpa lengan sehingga memperlihatkan tato di lengannya.
Begitu mencolok karena
laki-laki yang mengenakan sepatu kets itu memegang senjata berlaras pendek. Dia
tampak mengawal belasan warga asing itu saat akan naik perahu dari dermaga
itu. Saya hanya diam. Begitu juga tiga
kawan jurnalis yang lain. Kami tak saling bicara, apalagi bertanya pada sesama
penumpang di perahu itu. Mencoba mengindera situasi yang terasa cukup membuat
was-was.
Dari perbincangan beberapa warga yang masih
berada dalam perahu itu dermaga yang kami singgahi adalah Desa Ehe, desa di mana mayoritas warganya
selama ini mendukung beroperasinya perusahaan tambang di Pulau Bangka.
Malam itu kami memilih untuk tinggal di Desa
Kahuku, sekitar lima menit naik perahu dari dermaga Desa Ehe. Warga di desa ini
diketahui sering berhadap-hadapan dengan aparat kepolisian, bahkan terlibat
konflik dengan penduduk Desa Ehe, karena menolak tambang.
Desa Kahuku memiliki 129 Kepala Keluarga. Di
desa ini terdapat dua Sekolah Dasar (SD) masing-masing SD Gereja Masehi Injili
Minahasa (GMIM) Kahuku, dan SD Nasional Kahuku.
Selain itu ada juga satu Taman Kanak-kanak (TK) GMIM.
Vera Sambolowe,
guru SD GMIM Kahuku saat ditemui di sekolah itu, Sabtu (13/09) mengungkapkan,
ada 56 anak yang bersekolah di situ. Mereka berasal dari Desa Kahuku, maupun
Desa Ehe. “Karena di Desa Kahuku tak ada
SMP, maka setelah lulus para siswa harus melanjutkan sekolah ke SMP Nasional
yang ada di Desa Ehe,” ujar Vera mewakili Kepala Sekolah, Alfrest Togelang yang
hari itu sedang berada di Likupang untuk keperluan urusan dinas.
Hanya beberapa meter dari sekolah itu,
terdapat SD Nasional Kahuku yang dikelola yayasan keagamaan dari Kerapatan
Gereja Protestan Minahasa (KGPM). Karlina Takasiliang menghentikan kegiatan
mengajarnya untuk puluhan siswa, saat melihat kami tiba di sekolah itu.
Beberapa menit ke depan, Karlina terlihat sedikit bingung antara melayani
pertanyaan-pertanyaan kami atau mengurus anak didiknya di dalam kelas. Untunglah bel tanda pulang sekolah dibunyikan. Hari itu Karlina hanya sendirian
berada di sekolah. Murid-muridnyapun digabung dalam satu kelas.
“Anak-anak
tetap bersekolah seperti biasa. Meski
memang kondisi desa kurang kondusif. Jumlah murid sebanyak 54 orang. Berasal
dari dua desa, Kahuku dan Ehe yang perbandingannya hampir sama banyak,” ujar
Karlina.
Tepat di belakang SD Nasional Kahuku ini,
terdapat alat pengeboran milik PT MMP.
Sama seperti tetangganya SD GMIM Kahuku,
murid-murid di sekolah yang dipimpin Jacob Tangkiang ini jika lulus nanti harus
melanjutkan ke SMP Nasional Ehe.
Nah,
saat harus melanjutkan ke SMP Nasional Ehe inilah, persoalan selanjutnya
terjadi. Diduga ada perlakuan
diskriminatif oleh guru-guru SMP Nasional Ehe terhadap siswa dari SD Kahuku.
Bahkan untuk menghindari perbedaan perlakuan itu, sejumlah orang tua di Desa
Kahuku terpaksa menyekolahkan anaknya di daratan yakni di Likupang.
Kepala SD GMIM Kahuku, Alfrets Togelang saat
dikonfirmasi mengaku, sejumlah siswanya setelah lulus memang memilih untuk
sekolah di luar Pulau Bangka. “Orang tuua murid membuat pilihanj untuk
menyekolahkan anak mereka di luar Pulau Bangka,” ujar Togelang.
Hal senada disampaikan Ketua Badan Perwakilan
Desa (BPD) Kahuku, Piterson Andaria. “Kalau untuk sekolah, dulu pernah ada
intimidasi untuk anak-anak Kahuku yang sekolah di SMP Nasional Ehe. Masalahnya
sederhana, namanya juga anak-anak. Ketika ada ramai, atau ribut-ribut mereka
ingin cari tahu. Waktu ada aksi penolakan alat pengeboran, beberapa anak pergi
dan ikut menyaksikan. Ternyata oleh guru, mereka dikenakan sangsi,” papar
Andaria saat berbincang-bincang di belakang rumahnya yang berada di pinggir
pantai.
Lanjut Andaria selain sangsi yang diberikan
oleh pihak sekolah, dalam beberapa hal seperti pemberian beasiswa diduga juga
terjadi diskriminasi terhadap siswa dari Desa Kahuku. “Apa itu namanya, Bantuan
Siswa Miskin atau BSM. Anak-anak di sini tidak menerimanya. Ini perlakuan yang
diskriminatif,” ujar Andaria.
Setelah berjalan kaki selama lebih kurang
setengah jam dari Desa Kahuku, melewati pemukiman warga Desa Ehe yang menatap
kami dengan penuh tanya, kamipun tiba di sebuah sekolah yang berada dalam
kondisi cukup memprihatinkan. Beberapa ruangan tampak tidak terurus. Atap
bocor. Dinding di salah satu ruangan sudah terbelah. Sementara di ruangan
sebelahnya, tampak puluhan siswa mengenakan seragam Pramuka tengah beribadah.
Itulah kondisi SMP Nasional Kahuku, yang berada di Desa Ehe. “Ada perlu apa,”
ujar seorang ibu guru sambil menghampiri kami.
“Oh iya, bisa tunggu sedikit. Kepala sekolahnya ada di rumah. Nanti saya
suruh beberapa siswa memanggil kepala sekolah,” ujar guru itu.
Setelah menunggu hampir setengah jam, seorang
lelaki dengan mengendarai sepeda motor masuk ke halaman sekolah. Dia
menghampiri kami. “Ini bapak kepala SMP Nasional Kahuku,” ujar Martina Sikome,
guru honorer di sekolah itu.
Kepala sekolah membawa kami masuk ke salah
satu ruangannya. “Ini ruangan kelas, merangkap perpusatakaan, merangkap
Laboratorium IPA,” ujar Lansus Ruitang, Kepala SMP Nasional Kahuku.
Sejumlah peralatan Lab IPA yang masih berada
dalam beberapa dos tampak berserakan di atas lantai sekolah yang mulai bocor.
Perbincangan dengan Lansus berlangsung cukup lama, dengan berbagai topik.
Lansus ternyata tidak hanya menjelaskan tentang persoalan pendidikan di sekolah
itu, dan di dua desa yang sementara bermasalah, melainkan juga menyentuh bidang
lingkungan, hukum, sampai pemerintahan. “Tidak ada diskriminasi atau perbedaan
perlakuan pada siswa yang berasal dari dua desa ini. Karena secara garis
keturunan kami sebenarnya semua bersaudara. Memang ada perbedaan pendapat, tapi
kami cari solusi terbaik,” ujar Lansus.
Meski demikian, menurut dia, konflik warga di
dua desa itu memang membawa dampak baik langsung maupun tidak langsung kepada
siswa. “Situasi memang sangat peka, sensitif. Karena memang ada gesekan antara
orang tua yang menerima tambang dan menolak tambang. Jika guru menegur atau
memberi sangsi bagi siswa yang kebetulan asal Desa Kahuku, maka kami dinilai
pilih kasih. Padahal dalam mendidik anak-anak, kami tidak pernah melihat latar
belakang sikap orang tua mereka terhadap persoalan tambang,” papar Lansus
sekaligus membantah informasi tentang pemberian BSM yang pilih kasih.
Dari kepala sekolah ini, kami mendapat banyak
informasi diantaranya bakal digusurnya sekolah-sekolah yang ada di dua desa
itu, termasuk SMP Nasional Kahuku. “Memang ada rencana untuk merelokasi
sekolah-sekolah yang ada. Termasuk SMPN Nasional. Kalau memang nantinya semua
masyarakat ingin relokasi, berarti desa ini (Ehe) akan pindah. Tentu sekolah
ini juga akan ikut pindah,” jelas kepala sekolah yang mengaku orang asli Pulau
Bangka ini.
Terkait polemik pro dan kontra adanya
pertambangan di Pulau Bangka, menurut dia, pihaknya juga memberikan pemahaman
kepada peserta didik. “Bahkan saya jelaskan tentang putusan Mahkamah Agung,
termasuk UU Lingkungan Hidup. Ini agar ada pemahaman dari anak didik terkait
persoalan yang ada di desa mereka. Bahwa kehadiran pertambangan itu membawa
dampak positip bagi masyarakat,” papar Lansus yang kemudian terdiam sejenak
saat ditanyakan bagaimana dengan dampak kerusakan lingkungan yang bisa terjadi
akibat kegiatan pertambangan.
Lanjut pria yang sudah 13 tahun mengabdi di
sekolah yang berdiri sejak tahun 1963 ini, jika memang nantinya harus dilakukan
relokasi maka yang akan dilakukan adalah rapat Dewan Guru, Yayasan, serta
Komite Sekolah. “Jika nantinya keputusan akhir kita harus menerima relokasi,
maka gedung sekolah ini akan digusur. Kita pindah ke lokasi yang baru, yang
sudah disiapkan pihak perusahaan,” ujar Lansus yang menurut informasi yang
berkembang ia dalam manajemen PT MMP.
Kami berjalan kaki dari kompleks SMP Nasional
Kahuku di Desa Ehe, kembali ke arah Desa Kahuku. Kami berhenti di sebuah rumah
permanen, yang berada satu halaman dengan sebuah bangunan yang sementara
dibangun. Di dalam halaman itu, tertera papan “Kantor Desa Ehe”. Dari papan nama di rumah itu tertulis,
Keluarga Sigandong-Bogar. Ini adalah rumah dari Spener Sigandong, Hukum Tua
Desa Ehe. Awalnya, situasi sangat kaku. Spener bahkan enggan menjawab beberapa
pertanyaan yang kami diajukan. Tak lama kemudian datang seorang pria.
Belakangan diketahui namanya Welly Takumansang, dia Ketua Badan Perwakilan Desa
Ehe.
Dari Spener kami mendapat informasi bahwa, 162
Kepala Keluarga (KK) di desa itu sudah menyetujui kegiatan pertambangan. “95
persen bahkan sudah menjual rumah dan tanahnya kepada perusahaan. Artinya jika
nantinya semua sudah terjual, desa ini akan direlokasi ke daerah Sipi. Dua
sekolah yang ada juga akan dipindahkan,” ujar Spener.
Meski bakal terjadi penggusuran sekolah, namun
Spener memastikan semua anak usia sekolah harus tetap sekolah. “Di Sipi juga
sudah mulai dibangun sekolah. Yang pasti anak-anak usia sekolah harus tetap
sekolah,” ujar dia.
Terkait persoalan pendidikan khususnya yang
menerpa puluhan siswa di Desa kahuku dan Desa Ehe, Ketua Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) Provinsi Sulut, Dra Jul Takaliuang angkat bicara. “Ada
banyak dampak dari kehadiran pertambangan bagi penduduk desa, termasuk
anak-anak,” ujar Jul saat ditemui secara terpisah di Manado.
Menurut Jul, anak-anak sebenarnya mengalami
kekerasan psikologis akibat dari konflik yang terjadi antar warga. “Selain
mendapat perlakukan yang tidak adil dari pihak sekolah yakni SMP Nasional
Kahuku, mereka juga sebenarnya mengalami tekanan di lingkungan sosial akibat
konflik itu,” papar Jul.
Lanjut dia, menurut laporan yang diterima
pihaknya, saat ini orang tua cenderung untuk menyekolahkan anak mereka di luar
Pulau Bangka. Yang jadi persoalan kemudian, lanjut Jul, adalah anak-anak harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial masyarakat yang berbeda dengan di
kampungnya.
“Menyekolahkan anak keluar Pulau Bangka tidak semata-mata terkait
konsekuensi biaya. Tapi persoalan sosial, adaptasi dengan lingkungan sekitar.
Karena anak-anak, di usia yang masih sangat belia, terpaksa harus keluar dari lingkungan
masyarakat yang selama ini mereka tumbuh dan berkembang,” papar Jul.
Menariknya, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda
dan Olahraga Kabupaten Minahasa Utara, Drs Max Tatapada saat dikonfirmasi
melalui Kabid Pendidikan Dasar, Jenny Rumagit saat dikonfirmasi terkait rencana
penggusuran sekolah dan persoalan yang menimpa anak-anak ini mengaku tidak
mengetahuinya.
“Saya belum tahu soal rencana relokasi sekolah-sekolah yang ada
di Pulau Bangka. Demikian juga dengan persoalan yang menimpa anak-anak sekolah
di sana,” ujar dia.
Meski pihak Dinas Pendidikan, Pemuda dan
Olahraga Kabupaten Minut mengaku tidak tahu soal rencana relokasi sekolah itu,
namun hasil reportase di lapangan menunjukan bahwa pihak perusahaan mulai
membangun sekolah di wilayah pemukiman baru.
Persoalan eksploitasi Pulau Bangka juga
dikeluhkan sejumlah pengusaha resort yang bahkan mengeluhkan kondisi itu kepada
Komite III DPD RI, Dr Maya Rumantir, Senin (10/11/2014). Pasalnya, setelah
pemerintah memberikan ijin untuk resort, ternyata saat ini juga dikeluarkan
ijin untuk pertambangan yang membuat usaha resort mereka terancam surut.(***)