MANADO - Meski pemerintah
daerah, baik kabupaten Minahasa Utara maupun provinsi Sulawesi Utara, membantah
ada kegiatan pertambangan di Pulau Bangka, namun kenyataannya eksploitasi pulau
seluas 3.819 hektar itu terus berlangsung. Tak hanya bukit-bukit dan perumahan
warga yang dibongkar, hamparan bakau dibibir pantai ikut dibabat. Warga terus
melakukan perlawanan, termasuk dengan menempuh jalur hukum.
Kondisi di pulau yang masuk wilayah Kecamatan Likupang Timur, Kabupaten
Minahasa Utara, Jumat (13/03) lalu, terlihat bukit-bukit
dibabat untuk dikeruk pasirnya. Alat-alat berat milik perusahaan asal Tiongkok,
PT Migkro Metal Perdana (MMP) yang dioperasikan oleh puluhan tenaga kerja asal
negeri tirai bambu itu terus membabat
terus menimbun hamparan bakau di pesisir pantau yang indah itu. PT MMP adalah
perusahaan yang mengolah pertambangan pasir besi di pulau itu.
“Kami tidak
rela, pulau yang sudah ratusan tahun didiami leluhur kami akhirnya dirusak.
Padahal hasil pertambangan ini belum tentu bisa kami nikmati,” ujar Sersia
Balaati, perempuan asal Pulau Bangka yang berteriak-teriak sambil menunjuk ke arah dermaga milik PT MMP yang dikawal puluhan
anggota Brigade Mobil (Brimob) Polda Sulut, serta pihak pengamanan perusahaan.
Sersia kesal, karena dia bersama ratusan
warga lainnya tidak diperkenankan untuk sandar di dermaga milik PT MMP itu.
Akhirnya puluhan perahu hanya bisa berada di perairan dekat dermaga tersebut.
Hal senada disampaikan Wilson Gaghehang dan
Absalom Sigandong. “Kami berusaha keras mempertahankan agar pulau Bangka ini
jangan sampai dijadikan lokasi pertambangan. Ini pulau kecil, dan menjadi
tumpuan hidup kami selama bertahun-tahun. Namun sayangnya pemerintah tutup
mata, demi mengejar yang namanya investasi. Rusaklah pulau kami ini,” papar
Wilson dan Absalom.
Untuk menyelamatkan pulau itu, Sersia,
Wilson, dan Absalom bersama warga lainnya menempuh jalur hukum.
Jumat (13/03) itu, merupakan sidang lapangan
yang merupakan lanjutan dari gugatan sejumlah warga Pulau Bangka terhadap
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atas ijin eksploitasi yang
dikeluarkan oleh Kementrian ESDM saat dipimpin Jero Wacik.
Setelah beberapa
kali persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Pusat,
dilanjutkanlah dengan kunjungan langsung ke Pulau Bangka. Majelis Hakim, perwakilan
Kementrian ESDM, pihak MMP, serta pengacara dari warga Pulau Bangka
diperkenankan turun meninjau lapangan. Sedangkan warga lainnya dilarang turun. “Seharusnya
kami hadir dalam sidang lapangan ini. Karena kami ini penggugat. Mengapa
dihalang-halangi oleh aparat dan pihak perusahaan,” ketus Daniel Buagho dan
Edward Gaghamu, yang termasuk dalam perwakilan warga Pulau Bangka selaku
penggugat.
Setelah lebih kurang tiga jam menunggu di
atas perahu-perahu, akhirnya Majelis Hakim, perwakilan Kementrian ESDM, pihak
MMP, serta pengacara dari warga Pulau Bangka akhirnya selesai melakukan sidang
lapangan dan kembali ke perahu untuk selanjutnya pulang ke Manado.
Jull Takaliuang dari Aliansi Masyarakat
Menolak Tambang (Amalta) menegaskan, perlawanan warga untuk menolak
pertambangan terus dilakukan. Apalagi pulau Bangka tergolong pulau kecil yang tidak
diperkenankan melakukan kegiatan eksplotasi. “Pulau Bangka terus dirusak. Anda
bisa lihat sendiri kondisinya seperti apa. Namun perlawanan kami juga tidak
akan surut,” tegas Jull yang selama ini melakukan advokasi terhadap warga.(joe)