![]() |
Ketua AJI Manado, Yoseph E Ikanubun |
SENIN 09 Februari 2015 ini perhatian
public media bakal tertuju ke Kota Batam. Di kota yang berdekatan dengan
Singapore itu dilaksanakan iven tahunan yang menyedot dana miliaran rupiah.
Sejumlah bos media tanah air, serta para pejabat bakal duduk bersanding dalam
kemewahan Hari Pers Nasional atau HPN.
Sebagai salah satu organisasi profesi,
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap
rezim yang mengekang kebebasan pers, tetap konsisten menolak penyelenggaraan
HPN tersebut. Alasannya? Setidaknya ada beberapa hal yang mendasari penolakan
itu, mulai dari tinjauan historis, substansi pelaksanaan HPN, serta kaitannya
dengan kondisi kekinian para pekerja pers di Indonesia.
Penetapan tanggal 09 Februari sebagai
HPN dibuat melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Penetapan itu
mengusik banyak orang. Pasalnya, pers Indonesia lahir jauh hari sebelumnya Bung
Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan negeri yang membentang dari
Sabang sampai Merauke ini. Taufik Rahzen, salah seorang yang gelisah dengan
itu. Rahzen menelusuri sejarah itu, kemudian membukukan penelitiannya dalam
buku 100 Tahun Pers Nasional. Rahzen kemudian membuat simpulan bahwa mestinya
hari kelahiran pers nasional itu ditandai tonggaknya dari terbitnya Medan
Prijaji pada 1 Januari 1907.
Dari penelusuran Taufik, diketahui
Medan Prijaji, koran berbahasa Melayu sudah terbit di Bandung pada 1 Januari
1907. Koran ini adalah koran yang dibidani Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.
Karenanya, menurut Taufik, seharusnya Hari Pers Nasional diperingati pada 1
Januari.
Harian ini memang bukan koran yang
pertama kali terbit di bumi Nusantara. Sebelumnya banyak koran yang sudah
terbit di Hindia Belanda, nama Indonesia di bawah jajahan Pemerintah Kolonial
Belanda. Namun, menurutnya, Medan Prijaji adalah koran nasional pertama.
Alasannya, semua awak koran tersebut adalah pribumi dan koran tersebut yang
pertama menggunakan bahasa Melayu.
Pendapat Taufik dibantah oleh peneliti
sejarah di Universitas Leiden, Belanda, Surjadi. Dalam kolomnya yang dimuat di
Harian Padang Ekspres, 6 Oktober 2007, Suryadi menyebut bahwa terlalu
berlebihan menempatkan Medan Prijaji sebagai tonggak pers nasional. Ia
mengatakan Medan Prijaji bukanlah koran nasional pertama. Jauh sebelum Raden
Mas Tirto Adhi Soerjo menerbitkan Medan Prijaji, pada 1894-1910 di Sumatera
telah terbit banyak koran berbahasa Melayu yang digawangi Dja Endar Moeda.
Sebelumnya pula di Padang, pada 1890-1921, Mahyudin Datuk Sutan Maharadja telah
menerbitkan enam koran berbahasa Melayu.
Sumber lain seperti yang ditulis
Andreas Harsono dalam blognya. Saya menelusuri blog tersebut. Sebuah postingan
dengan judul “Polemik Sejarah Pers Indonesia.” Juga buku Andreas yang berjudul
“Agama Saya Adalah Jurnalisme”, pada halaman 63 dengan topik, Pers, Sejarah,
dan Rasialisme. Perdebatan untuk
menentukan tonggak berdirinya pers Indonesia adalah, tentang kriteria pers
Indonesia atau pers nasional itu sendiri. Apakah yang disebut pers Indonesia,
itu koran pertama yang lahir di tanah Indonesia (dulu disebut Hindia
Belanda), atau koran berbahasa Indonesia
(melayu) pertama, ataukah dimiliki dan diasuh oleh orang pribumi?
Jika mengacu pada kriteria pertama,
menurut Andreas, maka suratkabar Bataviasche Nouvelles yang terbit tahun
1744-1746 atau 150 tahun sebelum Medan Prijaji, sebagai penerbitan pertama di
Batavia. Jika ukurannya bukan Bahasa Belanda dan Bahasa Jawa, maka Andreas juga
menyebut ada Tjahaja Siang di Minahasa yang terbit tahun 1868, atau Bintang
Timoer (1865) yang terbit di Padang.
Maka kesimpulannya, jika kita hendak
merumuskan kembali kapan pers nasional lahir sebaiknya dimulai dengan
menentukan kriteria pers nasional tertua.
Benarkah HPN jatuh pada 9 Februari?
Pertanyaan singkat ini selalu dipertanyakan setiap tahunnya. Asal muasalnya
adalah karena tanggal 9 Februari hanyalah hari lahirnya PWI. Diketahui, PWI
bukanlah organisasi wartawan pertama di Indonesia. Dari pelacakan sejarah kita
dapat menemukan bahwa jauh sebelum PWI sudah lahir organisasi wartawan di masa
perjuangan melawan kolonialisme, yaitu: Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang
dipelopori oleh Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914, Sarekat Journalists
Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), dan Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). PWI
sendiri baru lahir pada 9 Februari 1946.
Hari lahir
PWI menjadi naik kasta menjadi hari pers yang diperingati secara nasional
karena peran Menteri Penerangan Harmoko yang merayu Presiden Soeharto untuk
menetapkannya sehingga sejak 1985 HPN diperingati di tanggal tersebut.
Lagipula
penetapan HPN yang dilakukan saat PWI masih menjadi satu-satunya organisasi
tunggal untuk wartawan sebagaimana keinginan rezim orde baru. Padahal sesudah
rezim orde baru tumbang sudah lahir banyak organisasi wartawan berskala
nasional. Saat rezim orde baru berkuasa sekumpulan wartawan yang memprotes pembredelan Tempo, Editor
dan Detik, di tahun 1994, mendirikan organisasi wartawan alternatif yang diberi
nama AJI. Saat Soeharto jatuh tahun 1998, PWI pecah menjadi dua dengan lahirnya
PWI Reformasi. Juga diikuti berdirinya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
(IJTI).
Lahirnya HPN yang merujuk pada hari
lahir PWI juga dirasa ahistoris dengan sejarah terbitnya pers pertama kali di
Indonesia. Terdapat beberapa surat kabar yang terbit sebelum merdeka, baik sesudah
tahun 1900 atau sebelumnya yang dapat dipertimbangkan sebagai embrio atau
perintis pers nasional.
Pengkajian dan pelurusan sejarah pers
nasional penting, agar publik tidak bingung dengan perkembangan pers Indonesia.
Sejarah pers Indonesia tidak dimulai dari lahirnya organisasi pers (PWI).
Apalagi dalam sejarah orde baru, organiasi ini justru menjadi bagian dari rezim
yang mengontrol kebebasan pers, tunduk dan mengamini seluruh tindakan
pembredelan pemerintah. Bukannya memberikan pembelaan terhadap para jurnalis
yang terancam dikeluarkan dari tempat kerja karena menjadi anggota AJI, justru
mendorong agar jurnalis anggota AJI diberi sanksi.
Selain berbicara dari aspek sejarah, pelaksanaan iven HPN juga secara substansi
tidak memberikan kontribusi yang besar bagi kehidupan pers di Indonesia. Selain
lebih banyak menghambur-hamburkan uang rakyat untuk acara seremonial yang
megah. Di sisi lain, tidak ada kontribusi yang berarti bagi peningkatan mutu
jurnalisme di Indonesia baik menyangkut kekebasan pers, perlindungan terhadap
jurnalis, serta kesejahteraan pekerja pers itu sendiri.
Kita mungkin belum lupa ketika HPN
digelar di Manado tahun 2013 lalu. Sama seperti yang digelar di daerah lain
setiap tahunnya, termasuk di Batam tahun 2015 ini. Kucuran dana miliaran rupiah dari APBN dan
APBD mengalir deras untuk kegiatan seremonial yang justru malah diprakarsai,
digerakkan dan didominasi penyelenggaraannya oleh pemerintah. Tak heran memang,
karena pemerintahlah yang memegang aliran dana. Tak hanya pemerintah yang
bersanding di sana, tapi juga para petinggi dan pemilik media di Indonesia. Juga
kelompok pers lain yang ikut menikmati pembagian “kue” HPN.
Sepanjang tahun 2014, AJI mencatat,
ada enam kasus kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis.
Kasus tersebut terjadi di Surabaya,
Jayapura, Medan, Makassar dan Jakarta. Dan seperti kasus-kasus kekerasan yang
dilakukan polisi sebelumnya terhadap jurnalis, tidak ada penyelesaian yang
menurut hukum yaitu ke jalur pengadilan.
Total ada 40 kasus kekerasan terhadap
jurnalis sepanjang 2014 ini. Angka kekerasan boleh jadi stagnan dibanding tahun
lalu, namun kualitas makin meningkat. Intimidasi, ancaman, telepon gelap,
teror, pelecehan, pemukulan, pengusiran, pelarangan liputan, perusakan kantor
hingga perampasan kamera masih terus terjadi.
Kasus yang paling menonjol terjadi di
Makassar, Sulawesi Selatan, pada 13 November 2014, ketika terjadi demonstrasi
penolakan kenaikan BBM di Universitas Negeri Makassar. Sejumlah jurnalis yang
melakukan peliputan penyerangan polisi pada mahasiswa justru membuat polisi
marah dan mengalihkan serangan pada jurnalis.
Setidaknya ada 10 jurnalis yang
mengalami luka akibat penganiayaan itu. Empat diantaranya melaporkan kasusnya
pada polisi, dan sampai saat ini berjuang untuk menuntaskan kasusnya.
Selain polisi, pelaku lainnya adalah
warga sipil, politisi, PNS, Satpol PP dan TNI. Terlihat ada tren kekerasan
menjadi cara untuk menyelesaikan kasus pemberitaan media.
Tahun 2014 adalah tahun kelabu untuk
pengungkapan kasus kekerasan terhadap jurnalis. Upaya mengungkap kasus
pembunuhan jurnalis harian Bernas Yogyakarta, Muhammad Fuad Syafrudin alias
Udin yang masuk kadaluwarsa tak mendapat respons kepolisian. Padahal kasus ini
diharapkan menjadi pintu masuk mengungkap tujuh pembunuhan jurnalis lainnnya.
Ketujuh jurnalis itu adalah Naimullah
(jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus
Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999),
Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara
(jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos,
tewas 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke,
tewas 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku,
ditemukan tewas 18 Desember 2010). Namun sejauh ini, polisi abai, negara pun
abai, membiarkan pelaku kekerasan melenggang bebas.
Ancaman terhadap kebebasan pers bukan
hanya dengan cara kekerasan. Tahun 2014 ini juga jadi saksi ancaman terhadap
kebebasan pers muncul dari penanggung jawab media itu sendiri. Tahun Pemilu
membuat pemilik atau penanggung jawab media terlibat dalam pertarungan dalam
pemilihan presiden.
Tahun 2014 ini, AJI memutuskan Musuh
Kebebasan Pers adalah penanggung jawab berita di stasiun televisi MNC Group,
tvOne dan MetroTV. Menurut AJI, para penanggung jawab redaksi itu telah
menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan partai dan kelompok. AJI
menemukan, praktik oligopoli media massa membuat opini masyarakat juga
dikontrol oleh sekelompok kecil pemilik atau penanggung jawab media.
Kondisi buruk atas profesi jurnalis
juga termasuk soal kesejahteraan jurnalis. Ribuan jurnalis saat ini berstatus
kontributor atau koresponden, tanpa hubungan kontraktual dengan media yang
mempublikasikan karyanya. Mereka tak memiliki jaminan sosial, jaminan kesehatan
dan jaminan hari tua. Sebagian besar dari mereka juga tak diikutkan dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional dan BPJS yang merupakan kewajiban setiap
perusahaan yang mempekerjakan mereka.
AJI baru saja menggelar Rapat Kerja
Nasional (Rakernas) di Bogor, 6 – 8 Februari 2015 kemarin. Salah satu hal yang
menjadi pembahasan dalam Rakernas itu adalah terkait pelaksanaan HPN. Ada beberapa
alternative dalam menetapkan waktu yang pas dan bisa diterima semua pihak
terkait peringatan HPN. Misalnya saat munculnya Koran pertama berbahasa Melayu
Medan Prijaji tanggal 01 Januari, atau mungkin mengikuti hari kebebasan pers
internasional 03 Mei. Diharapkan penetapan HPN ini kemudian bisa diterima semua
insan pers di Indonesia. Sikap AJI tegas, bahwa perayaan 9 Februari 2015 adalah
Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia. Tidak tepat menyebutkan hari
lahir organisasi wartawan di atas dijadikan tonggak sejarah hari pers nasional.
AJI mendesak kepada pemerintah untuk mengkaji ulang penetapan HPN dengan
membatalkan Keppres nomor 5 tahun 1985 yang menjadi dasar penetapan HPN.
Lebih dari itu, HPN diharapkan tentu
tak sekadar seremonial apalagi menghamburkan dana rakyat dari APBN dan APBD.
Untuk soal dana ini, hingga Kongres IX di Bukittinggi Desember 2014 lalu, AJI
masih tetap konsisten untuk menolak bantuan pemerintah baik melalui APBN dan
APBD, ataupun sumber lainnya.
Momentum HPN juga bisa menjadi posisi
tawar yang kuat bagi seluruh insan pers dalam memperjuangkan kekebasan pers,
serta mendesak pemerintah memberikan jaminan perlindungan bagi pekerja media,
menghentikan kriminalisasi pers, serta mengusut tuntas kasus kekerasan dan
pembunuhan wartawan di Indonesia.(***)
Oleh: Yoseph E Ikanubun, Ketua AJI
Manado Periode 2012 - 2015