KH Arifin Assegaf.(foto: istimewa) |
Wakil Walikota Manado, Harley Mangindaan
misalnya, sempat menjenguknya ketika dalam kondisi terbaring lemah di Rumah Sakit
Prof Kandouw Ruang Irene F, pada Kamis 5 Maret 2015 lalu.
“Sosok kharismatik yang memegang teguh
prinsip kebersamaan walaupun ditengah kepelbagaian perbedaan. Nasehat serta
wejangan-wejangan almarhum untuk pembangunan akhlak dan kehidupan sosial di
kota ini akan selalu menjadi bekal dan pegangan kita bersama," kata
Mangindaan ketika melayat ke rumah duka.
Diakui Mangindaan, masyarakat Sulut kehilangan
tokoh berpengaruh. “Kita jelas kehilangan sosok pemersatu, tapi apa yang telah
diperbuat untuk pembangunan dan kebersamaan itu tetap kita ingat,” imbuhnya.
Olden Kansil juga mengungkapkan soal sosok Assegaf. Melalui status facebooknya dia menyebut bahwa daerah ini telah kehilangan
sosok yang menjadi teladan. “Tahun 80-an saya mengenal KH Arifin Assegaf
sebagai seorang ulama dan juga politisi di Partai Persatuan Pembangunan. Namun
saya benar-benar menjadi lebih dekat justru setelah saya bergabung di Lembaga
Bantuan Hukum (LBH) Manado dan beberapa kali mengundang beliau bicara.
Menjelang reformasi, Ustad Arifin satu-satunya ulama di Sulut yang berada di
garis depan dalam membabarkan pesan reformasi. Analisis kritisnya terhadap
perkembangan politik, terutama kritiknya terhadap “politik aliran” -- yang
cenderung mengeksploitir nilai-nilai dan simbol agamis -- menjadi salah satu
tema diskusi yang selalu menarik. Bagi pak Kiai Arifin, Islam itu bukan sekedar
soal entitas yang dapat disekat-sekat dengan label Muhammadiyah, NU, Al Isryad
atau Syarekat Islam,” kenang Kansil.
Masalah Islam, kata dia bagi Ustad juga
bukan hanya soal banyak yang tidak sholat, tidak sholeh dan tidak bayar zakat
atau sekedar soal kelompok radikal, tetapi soal bagaimana Islam menjadi solusi,
rahmat dan memberi arti bagi keberlanjutan kehidupan banyak orang.
“Selaku seorang intelektual, KH Arifin
Assegaf adalah sosok yang banyak menyemai berbagai pemikiran dari berbagai
aliran. Bahkan menjadi titik temu berbagai kelompok dengan klaim
intelektualitas bahkan klaim ideologisnya sendiri-sendiri. Berdiskusi dengan
pak Arifin membuat kita bisa mengikuti ragam pengembaraan intelektualitas dan
spiritualitas yang melintasi batas atau sekat klaim “kulit luar” Islam,
Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Kong hu Chu,” katanya.(agust hari)