Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) turut dalam barisan buruh dalam aksi serentak May Day
1 Mei 2015 di seluruh Indonesia. Perbaikan kesejahteraan pekerja termasuk
jurnalis adalah bagian dari perjuangan AJI untuk menjaga kebebasan pers dan
independensi ruang redaksi.
Jika dulu
ancaman terhadap kebebasan pers dilakukan oleh negara, kini AJI melihat ancaman
terhadap kebebasan pers justru dari dalam industri media itu sendiri. Posisi
tawar jurnalis yang buruk karena tidak berserikat membuat pemilik media semena-mena
dalam hal kesejahteraan jurnalis atau pekerja media secara umum. Industri media
yang berkembang pesat juga tak berbanding lurus dengan kesejahteraan jurnalis.
Belum lagi
tren konvergensi media membuat beban kerja jurnalis dan pekerja media semakin
bertambah namun dalam hal kesejahteraan jalan di tempat. Jurnalis jadi gampang
disetir pemilik media karena posisinya yang lemah. Abainya perusahaan media
terhadap peningkatan kesejahteraan pekerja mendorong, AJI Indonesia bersama
dengan Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen beserta sejumlah
serikat pekerja dari beberapa perusahaan media membentuk Forum Pekerja Media.
Forum
menyoroti rendahnya tingkat kesejahteraan pekerja media dan kebutuhan akan
perlunya ditetapkan upah minimum sektor media.
Sebagian
jurnalis ini berstatus tidak tetap. Sebutan mereka beragam, mulai dari
koresponden, kontributor, 'freelance', 'stringer', sampai 'Tuyul'. Para
jurnalis dengan status tak tetap ini terus berjuang untuk mendapatkan
kesejahteraan yang lebih baik dari perusahaan media. AJI yang lebih dari 40
persen anggotanya berstatus pekerja tidak tetap ini menemukan sebagian besar
dari mereka mendapat upah yang rendah. Sebagian menerima penghasilan jauh di
bawah ketentuan upah minimum regional yang berlaku di masing-masing provinsi.
Harapan atas
peningkatan kesejahteraan jurnalis kembali muncul di peringatan May Day tahun
ini. Jurnalis juga dihadapkan pada ketidakpastian atas jaminan sosial. Seperti
diketahui, program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) terkait ketenagakerjaan
yakni iuran pensiun BPJS Ketenagakerjaan akan berlaku pada 1 Juli 2015, namun
hingga kini belum ada kepastian besaran iuran yang semestinya ditetapkan oleh
pemerintah. Di sisi lain, ada potensi besaran iuran BPJS Ketenagakerjaan akan
membuat perusahaan media mengurangi fasilitas yang sudah diberikan selama ini.
Di tengah
minimnya kesadaran perusahaan media untuk meningkatkan kesejahteraan jurnalis,
masih terdapat juga hambatan bagi jurnalis dalam mendirikan serikat pekerja di
lingkungan perusahaan media. Sejumlah perusahaan media tampak enggan mengakui
maupun mendorong pembentukan serikat pekerja di dalam perusahaan yang merupakan
hak yang diatur dalam konstitusi itu.
AJI juga
menyoroti belum terwujudnyakesetaraan hak antara jurnalis perempuan di setiap
perusahaan media. Sebagai contoh, masih ada perbedaan dalam pemberian tunjangan
pemeliharaan kesehatan untuk keluarga jurnalis perempuan dibandingkan jurnalis
laki-laki. Belum lagi, masih banyak perusahaan yang tidak memberikan cuti haid
atau fasilitas laktasi bagi pekerja perempuan yang masih menyusui anak.
Oleh sebab
itu AJI Indonesia melalui Ketua Umum Suwarjono dan Sekjen Arfi Bambani
menyatakan:
1. Mendesak
perusahaan media meningkatkan kesejahteraan jurnalis di tengah tambahan beban
kerja akibat konvergensi media maupun ekspansi bisnis perusahaan.
2. Mendesak
pemerintah menetapkan upah sektoral pekerja media dengan memerhatikan
karakteristik industri media yang tengah berkembang pesat di tengah tren
konvergensi media.
3. Mendesak
perusahaan media yang mempekerjakan kontributor, koresponden atau freelance
dengan standar kontrak kerja yang jelas sehingga bisa memenuhi kebutuhan hidup
mereka.
4.
Menyerukan perusahaan media agar mematuhi ketentuan pemerintah terkait iuran
pensiun yang harus dibayar ke BPJS Ketenagakerjaan per 1 Juli 2015. AJI mendesak
perusahaan media menyertakan jurnalis dalam program jaminan sosial tanpa
menurunkan fasilitas dasar yang telah diterima jurnalis di masing-masing
perusahaan media.
5. Mendukung
pendirian serikat pekerja di semua perusahaan media tanpa ada tekanan dari
manajemen perusahaan media.
6.
Menyerukan kepada seluruh perusahaan media di Indonesia agar menerapkan sistem
pengupahan dan pemberian tunjangan yang setara tanpa diskriminasi terhadap
jurnalis perempuan.(joe)